Hindari Kerumunan, Jolen Hanya Dibuat Sepasang
PURWOREJO, MAGELANGEKSPRES.COM – Tradisi Jolenan yang digelar rutin 2 tahunan masih lestari di Desa Somongari Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Namun, akibat pandemi Covid-19, Jolenan tahun ini hanya digelar secara sederhana, Selasa (5/10). Arak-arakan atau kirab warga dari 23 rukun tetangga (RT) yang mengusung 46 jolen ditiadakan. Panitia hanya mengeluarkan 2 buah atau sepasang Jolen sebagai simbolisasi upacara merti desa.
EKO SUTOPO, Purworejo
Jolenan berasal dari akronim Jawa ‘ojo kelalen’ atau jangan lupa terhadap Sang Pencipta yang telah memberikan kesuburan dan curahan hasil yang melimpah. Tradisi ini diperingati 2 tahunan setiap bulan Sapar pada hari Selasa Wage sebagai bentuk syukur atas hasil bumi yang diperoleh warga.
Jolenan atau dikenal juga sebagai Saparan bisa dikatakan pula sebagai bentuk doa agar kesejahteraan dan keselamatan seluruh warga Somongari tetap terjaga. Seperti diketahui, Desa Somongari dikenal sebagai sentra penghasil manggis dan durian serta hasil bumi lainnya.
Dibandingkan pelaksanaan sebelumnya, Jolenan tahun ini sangat jauh berbeda. Pandemi Covid-19 yang masih membelit membuat Pemerintah Desa Somongari memilih menggelarnya lebih simpel dan menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerumunan. Pasalnya, dalam setiap penyelenggaraan sebelumnya, ribuan warga Kabupaten Purworejo dan luar daerah tumpah ruah menyaksikan.
Menurut Kepala Desa Somongari, Subagyo, Jolenan memang tidak bisa diabaikan. Berdasar cerita turun-temurun diketahui bahwa jika Jolenan tidak dilaksanakan, maka akan membawa bencana bagi desa.
“Dan kali ini karena masih ada Covid-19, acara pokok tetap kita gelar tapi memang dibuat sesederhana mungkin,” kata Subagyo.
Kendati sederhana, sejumlah prosesi penting tetap dilangsungkan. Semua RT tetap membuat selamatan terlebih dahulu pada pagi hari. Lalu ziarah ke makam kedana kedini dan dilanjutkan dengan seremoni yang menghadirkan perwakilan tokoh dari tingkat kecamatan dan kabupaten.
Salah satu tradisi yang tidak boleh ditinggalkan adalah pagelaran tayub yang menghadirkan kelompok dari wilayah Wonosari Kabupaten Gunungkidul. Berdasar penuturan turun-temurun pula, hal ini harus dilakukan karena menjadi kesukaan atau kareman dari nenek moyang mereka.
“Dari yang sudah-sudah memang tidak pernah dilakukan penarinya dari luar Wonosari. Kita tidak berani mendatangkan dari Tayub Banjarnegara atau lainnya,” ungkap Subagyo.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Purworejo, Dyah Woro Setyaningsih, yang hadir dalam kesempatan itu mengapresiasi warga Desa Somongari yang rela menggelar tradisinya dengan cara sederhana. Mereka mengikuti himbauan dari Pemerintah agar tidak menggelar kegiatan yang berpotensi mendatangkan kerumunan.
“Satu hal yang menarik dari sini adalah tetap terjaganya tradisi. Memang diperlukan sebuah modifikasi sehingga ini tidak membuat pengunjung itu jenuh atau bosan,” kata Dyah Woro.
Dalam pengamatannya, keberadaan aneka kerupuk yang mewarnai jolenan itu bisa lebih diangkat. Menurutnya, pengunjung bisa diajak untuk melihat proses pembuatan kerupuk itu karena menjadi wawasan baru bagi masyarakat.
“Secara kemasan sudah sangat menarik dan berbeda dengan merti desa di wilayah lain. Cuman dibutuhkan pengembangann lagi sehingga makin menarik,” terangnya. (*)