JAKARTA, MAGELANGEKSPRES.COM – Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengaku sedih. Bahkan, Presiden ke-5 RI itu sempat menangis. Penyebabnya, banyak orang yang kerap menghina Presiden Joko Widodo. Para penghina itu disebut tak bermoral dan pengecut.
“Coba lihat Pak Jokowi. Saya suka nangis lho. Beliau itu sampai kurus. Mikir kenapa? Mikir kita lho. Mikir rakyat. Masa masih ada yang mengatakan Jokowi kodoklah,” ujar Megawati sembari menangis. Suaranya pun mulai tercekat.
Hal itu disampaikan Megawati saat memberikan sambutan dalam Peletakan Batu Pertama Pembangunan Pelindungan Kawasan Suci Pura Besakih, yang ditayangkan melalui kanal YouTube Pemprov Bali, Rabu (18/8). “Orang itu benar-benar tidak punya moral. Pengecut saya bilang. Saya dibully juga tidak takut kok,” imbuhnya.
Megawati meminta orang-orang yang menjelekkan Jokowi bersikap jantan. “Coba datang berhadapan, jantan kamu. Kita mesti berkelakuan sebagai warga negara yang punya etika moral. Jangan sembarangan,” tegas Megawati.
Menurutnya, orang-orang yang selama ini mengatakan pemerintah gagal untuk datang bertemu langsung dengan Jokowi. Dia meminta mereka menunjukkan di mana kegagalan yang dimaksud.
“Saya sangat sedih kalau banyak orang sepertinya menjelekkan Pak Jokowi. Pak Jokowi gagal, pemerintah gagal. Saya hanya ingin orang itu sebenarnya datang baik-baik bertemu dengan Pak Jokowi. Sebutkan kegagalannya di mana. Lalu, konsep dari orang itu apa supaya tidak gagal,” tutur Megawati.
Pada usia 76 tahun Kemerdekaan, banyak orang Indonesia yang mulai berpikir egosentris dan syirik. Banyak orang yang tidak senang ketika ada orang senang.
Jika tidak suka kepada seseorang, tidak seharusnya tidak menghujat. Dia mencontohkan saat Presiden ke-2 RI Soeharto diturunkan dan kemudian dihujat banyak orang.
“Kami dididik oleh orang tua sangat luar biasa. Diajari moral dan etika. Kalau kamu nggak seneng sama orang, lebih baik kamu tidak menghujat. Sudah berhenti saja. Diam saja. Ketika Presiden Soeharto jatuh, orang maunya menghujat. Saya bilang berhentilah menghujat Pak Harto. Apakah kita bukan bangsa yang berkepribadian dengan Pancasila. Masa kalau orang sudah jatuh ditimpa tangga lagi. Mana kebesaran jiwa bangsa,” tutupnya.
Hampir setiap hari, lini masa media sosial (Medsos) selalu dihiasi kritikan kepada Presiden Joko Widodo dan pemerintah. Ada yang benar-benar mengkritik. Tetapi tak sedikit pula yang menghina atau melecehkan. Apa respons Jokowi?
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan Jokowi tak pernah pusing dengan kritik. “Presiden sangat terbuka. Tidak pernah pusing dengan kritik. Tetapi beliau selalu sisipkan sebuah kalimat. Kita orang timur memiliki adat. Jadi kalau mengkritik sesuatu ya beradab,” tegas Moeldoko di Jakarta, Rabu (18/8).
Mantan Panglima TNI ini menyatakan pemerintah tidak melarang orang menyampaikan kritik. Namun tetap dengan cara yang mengusung tata krama sesuai budaya timur. “Tata krama ukuran-ukuran budaya supaya dikedepankan. Cobalah lihat cara-cara mengkritiknya,” tutur Moeldoko.
Ia menyebut banyak pihak yang menyamakan kritik dengan fitnah. Padahal dua hal tersebut sangat berbeda. Selain itu, dia juga menyayangkan jika terdapat banyak pihak yang memprovokasi situasi jika ada kritik yang disampaikan ke pemerintah.
“Banyak tokoh-tokoh kita tidak memberikan pendidikan terhadap pemberi kritik. Justru terlibat di dalamnya untuk memperkeruh situasi. Janganlah seperti itu,” jelasnya.
Dia menyebut, Presiden Jokowi merupakan orang tua yang perlu dihormati. “Jangan sembarangan berbicara. Jangan sembarangan menyampaikan sesuatu dalam bentuk kalimat atau dalam bentuk gambar. Jangan setelah itu minta maaf. Masa sudah berbuat sesuatu, setelah itu minta maaf. Ini sungguh sangat tidak baik,” paparnya.
Selain itu, dia meminta pulik jangan langsung menuding polisi bersikap represif. Terlebuh, jika kepolisian melakukan tindakan hukum kepada pihak-pihak yang diduga menyebarkan fitnah atau membuat keonaran.
“Kalau ada yang dipanggil polisi jangan terus dimaknai tindakan. Bisa saja dibina dan seterusnya, agar tidak melakukan hal-hal tidak baik. Jangan dijustifikasi represif dan seterusnya,” tutup Moeldoko. (rh/fin)