MAGELANGEKSPRES.COM,BOROBUDUR – Memanfaatkan limbah cobek sebagai bahan baku kerajinan patung telah dilakukan puluhan tahun oleh Amin Lisman Ragil, warga Dusun Kretek, RT 4 RW 4 Karangrejo Borbudur.
Limbah cobek dipilih karena jika dicetak hasilnya lebih sangat mirip dengan batu ukir. Proses pembuatannya lebih cepat dibanding proses ukir batu.
“Awalnya saya produksi kerajinan bambu ukir pada tahun 1997. Tapi hasilnya lama karena harus melalui proses mengukir. Kemudian pada tahun 2002 saya beralih ke batu cetak karena prosesnya lebih cepat dan hasilnya mirip ukiran batu,” ucap Amin, Rabu (17/3/2021).
Baca Juga
Peringatan Isra Miraj di Pemkot Magelang, Gus Yusuf : Jadi Pemimpin Harus Konsisten
Amin mengaku belajar otodidak memproduksi batu cetak. Awalnya dirinya menggunakan pasir dari Gunung Merapi. Kemudian beralih menggunakan bahan baku limbah cobek.
“Awal produksi saya mengambil bahan baku dari pasir Merapi yang saya ambil dekat Gunung Merapi, yang pasirnya masih murni. Kalau pasir sudah tercampur debu maka hasil cetaknya kurang bagus. Lebih bagus menggunakan limbah cobek. Bahan dasar cobek adalah batu, sehingga hasil cetak sama dengan batu asli, warna hitam batu, rekat lebih kuat dan terdapat pori-pori batu tampak seperti batu ukir,” terang Amin.
Amin mengaku mudah mencari bahan baku limbah cobek. Dirinya disuplay oleh pengerajin cobek di Keji Muntilan. Saat ini produksi cobek dengan cara dibubut, sehingga menghasilkan limbah serbuk batu, yang dirinya manfaatkan sebagai bahan batu cetak.
“Kalau dari pasir kemungkinan akan tercampur dengan debu, sehingga hasilnya kurang bagus. Paling bagus menggunakan limbah cobek yang memang dari batu Merapi,” terang Amin.
Adapun produk dari hasil karya Amin, berupa Kepala Buddha, Ganesa, maket Stupa Candi Borobudur, Buddha Matrea, relief hiasan dinding dan pernak-pernik lainnya.
Menurut Amin, proses produksinya tersebut mampu merekrut hingga 40 orang tenaga kerja, yang sebagian besar dari desa setempat. Dan produknya memasok permintaan pedagang souvernir di Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, pedagang batu hias dari Palbapang Mungkid hingga Salam, dan pedagang Jogja serta Candi Prambanan.
“Selain proses cetak, juga ada proses membatik batu, yang biasa dikerjakan oleh ibu-ibu sekitar desa saya. Ada 40 orang yang terlibat dalam proses produksi batu cetak ini,” ungkap Amin.
Namun karena pandemi covid 19, sektor pariwisata terkena dampaknya, turut mempengaruhi usaha batu cetak Amin. Yang saat ini mulai bergeliat untuk bangkit kembali.
“Pesanan sudah mulai ada, karena kunjungan wisata mulai ramai. Yang paling laku adalah stupa dan maket miniatur Candi Borobudur paling diminati,” tutur Amin.(cha)