Apa itu Cyberbullying?
JAKARTA,MAGELANGEKSPRES.COM – Masyarakat diminta mewaspadai perilaku anak-anaknya. Sebab kasus cyberbullying atau perudungan di dunia maya terhadap anak-anak dan remaja mengalami lonjakan.
Berdasarkan hasil sejumlah survei yang dilakukan EU Kids Online Survey 2020, maupun SEJIWA, KPIA, UNICEF, APJII maupun laporan yang diterima Polda Metro Jaya, menunjukkan adanya kenaikan dari kasus perundungan di media sosial (cyberbullying) yang banyak dialami oleh anak-anak usia remaja.
Psikolog Anna Surti Ariani dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) mengatakan Cyberbullying (perundungan dunia maya) adalah kondisi dimana seseorang merasa tidak nyaman terhadap komentar/informasi/gambar foto yang ditujukan untuk dirinya, yang bertujuan menyakiti, intimidasi, menyebar kebohongan dan menghina, yang diunggah di internet, jejaring media atau teknologi digital lainnya, yang dilakukan oleh orang lain.
Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental.
Perilaku apa saja yang termasuk kategori Cyberbullying?
Menurut situs: https://www.unicef.org Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Contohnya termasuk:
- Menyebarkan kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial
- Mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial, atau memposting sesuatu yang memalukan/menyakitkan
- Meniru atau mengatasnamakan seseorang (misalnya dengan akun palsu atau masuk melalui akun seseorang) dan mengirim pesan jahat kepada orang lain atas nama mereka.
- Trolling – pengiriman pesan yang mengancam atau menjengkelkan di jejaring sosial, ruang obrolan, atau game online
- Mengucilkan, mengecualikan, anak-anak dari game online, aktivitas, atau grup pertemanan
- Menyiapkan/membuat situs atau grup (group chat, room chat) yang berisi kebencian tentang seseorang atau dengan tujuan untuk menebar kebencian terhadap seseorang
- Menghasut anak-anak atau remaja lainnya untuk mempermalukan seseorang
- Memberikan suara untuk atau menentang seseorang dalam jajak pendapat yang melecehkan
- Membuat akun palsu, membajak, atau mencuri identitas online untuk mempermalukan seseorang atau menyebabkan masalah dalam menggunakan nama mereka
- Memaksa anak-anak agar mengirimkan gambar sensual atau terlibat dalam percakapan seksual.
Bullying secara langsung atau tatap muka dan cyberbullying seringkali dapat terjadi secara bersamaan. Namun cyberbullying meninggalkan jejak digital – sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan bukti ketika membantu menghentikan perilaku salah ini.
“Sebanyak 45 persen dari 2,777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami cyberbullying, menurut survei UNICEF U-Report 2021,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/10).
Dijelaskannya, alasan orang melakukan cyberbullying adalah ia ingin merasa kuat, harga dirinya rendah, kurang berempati, ingin popular dan tidak sadar akan dampak yang ditimbulkan.
Ia membagikan beberapa ciri seseorang yang terdampak cyberbullying. Pertama, adalah kecenderungan untuk menarik diri, mudah emosi, menjadi cenderung pendiam dan tidak mau bersosialisasi.
“Kedua adalah mengganti akun social media, dan ketiga tidak lepas dari gawai kehilangan minat melakukan kegiatan lain,” ujarnya.
Ada pun cara mencegah anak menjadi korban cyberbullying, pertama membatasi waktu memegang gawai dengan jadwal dan durasi tertentu.
“Selanjutnya, memberikan edukasi terkait apa itu cyberbullying. Ketiga, membatasi konten dan aplikasi pada gawai. Dan keempat, menjadi contoh dalam berperilaku digital yang baik,” kata dia.
Founder Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, menambahkan media daring memberikan dampak terhadap beberapa kasus yang dialami anak seperti ketergantungan gawai, cyberbullying, eksploitasi seksual serta penipuan daring.
“Dampaknya bisa sangat besar, membekas hingga jangka panjang karena rasa malu yang ditimbulkan mengingat postingan buruk terhadap dirinya telah disaksikan ribuan orang netizen,” katanya.
“Akibatnya sangat membahayakan, bukan hanya sebatas malu dan depresi bahkan hingga tindakan bunuh diri. Sayangnya, banyak korban yang lebih memilih diam, tidak mengadukan kasus yang menimpanya, sehingga pada akhirnya mengganggu pertumbuhan jiwanya,” imbuhnya.
Namun, Diena mengatakan terdapat beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah dampak buruk cyberbullying.
“Sebagai teman, kita memberi dukungan untuk mendengarkan masalah yang dihadapi, menyemangati dan dapat mengajaknya untuk melaporkannya kepada guru atau orangtuanya. Kita juga dapat meng-counter informasi negatif dengan memberikan komentar positif tentang sahabat kita,” katanya.
“Sebagai orang tua, kita arahkan anak untuk memblok pelaku dan melaporkannya melakukan media sosial. Kita juga dapat mengalihkan anak dari media sosial melalui kegiatan lain seperti hobi, berlibur maupun hal-hal kreatif lainnya. Bila sudah semakin parah dampaknya, segera konsultasikan anak kepada ahlinya untuk mendapat tindakan terbaik,” tambahnya.
Sementara itu, Delegasi Uni Eropa di Indonesia melalui EU Social DigiThon 2021 mengajak keterlibatan generasi muda dalam menciptakan pendekatan berbasis teknologi dan inovatif dalam mengatasi masalah sosial dan mempromosikan hak asasi manusia. Untuk informasi terkait EU Social DigiThon, kunjungi microsite http.digithon.eu.(ant/gw)