TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.COM – Selama memasuki bulan Ramadan, seperti biasanya kegiatan keagamaan atau religi di setiap pesantren semakin meningkat. Sama halnya dengan yang terlihat di Pesantren Abata yang terletak di Kelurahan Manding, Kecamatan/Kabupaten Temanggung.
Yang membuatnya berbeda adalah, puluhan santriwati di sini semuanya adalah penyandang disabilitas berkebutuhan khusus, tuna rungu. Dengan konsep islamic boarding school tunarungu Pesantren Abata menjadi rintisan pesantren tunarungu gratis pertama di Indonesia dengan metode yang terpadu.
Muchlisin Nuryanta (40), pengelola Pesantren Abata mengungkapkan, didirikannya pesantren pada 2016 silam lantaran ia memiliki anak dengan kebutuhan khusus tuna rungu. Ia mengaku kesulitan dalam mengajari anak dalam berkomunikasi.
Akhirnya berdirilah Pesantren Abata yang khusus menampung mereka yang memiliki kebutuhan khusus tuna rungu. Tak hanya belajar agama, akhidah, dan hafalan Al Quran, mereka juga diajari ilmu lain seperti sekolah pada umumnya. Yakni baca, tulis, hitung, IPA, IPS, hingga Bahasa Indonesia.
“Kami mengajarkan dengan metode bahasa lisan dan isyarat dalam berkomunikasi. Tujuannya adalah agar mereka dapat berkomunikasi dengan masyarakat pada umumnya. Secara sekolah formal, pendidikan santriwati juga berjenjang mulai SD, SMP, dan SMA meski sekarang yang paling lama baru duduk di kelas 6 SD,” ujarnya.
Lanjutnya, di tempat ini setiap harinya para santri melakukan terapi wicara dari guru yang telah bersertifikat. Terapi sendiri menggunakan metode lips reading atau visual phoenik sehingga semua materi divisualkan. Santri diharapkan bisa berkomunikasi secara verbal.
Proses terapi wicara menjadi bagian sangat penting bagi para santri agar dapat melakukan komunikasi kepada orang lain, tidak hanya kepada sesama disabilitas.
Para santri juga dibekali kegiatan mengaji sehingga bisa melafalkan surat-surat Alquran. Para pengajar secara tekun melatih mereka.
“Saat Ramadan seperti ini kegiatan bertema keagamaan dan religi para santriwati semakin kita tambah,” jelasnya, Selasa (5/4).
Di pesantren ini terdapat berbagai kelas sesuai dengan umur dari para santri. Kurikulum yang diajarkan merupakan kurikulum tersendiri, berbeda dengan kurikulum kebanyakan karena keterbatasan para santri berkomunikasi.
“Kami memiliki 21 pengajar dengan beragam tingkat kesulitan masing-masing saat menularkan ilmu. Tergantung tingkat kecerdasan santriwati masing-masing mengingat mereka datang dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Kita identifikasi mereka dengan teknik khusus agar dapat mengidentifikasi visual untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. Ada yang 3 bulan hingga 6 bulan baru muncul kosakata,” ungkapnya.
Karena keterbatasan tempat dan asrama, Pesantren Abata hanya mampu menampung 40 santri perempuan. Pesantren Abata menyelenggarakan pendidikan secara gratis tanpa dipungut biaya.
Mengingat metode yang masih jarang inilah, minat untuk mendalami ilmu bagi para penyandang tuna rungu dari berbagai penjuru wilayah sangatlah tinggi. Bahkan, terdapat 158 santriwati baru yang telah mendaftar, dan 37 calon santri putera lain meski pesantren untuk laki-laki baru akan dibuka pada bulan Juni 2022 mendatang.
“Kami membebaskan biaya bagi para santriwati. Tetapi kalau ada orang tua yang mau membantu kita perbolehkan namun sifatnya tidak mengikat karena metode pembiayaan kami adalah melalui unit-unit usaha. Atau kemandirian ekonomi dan investasi,” akunya. (riz)