JAKARTA, MAGELANGEKSPRES.COM – Keputusan Presiden Joko Widodo yang meminta harga tes PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu dengan masa berlaku 3×24 jam diapresiasi Ketua DPR RI Puan Maharani. Yakni agar tes PCR tersebut bisa menjadi syarat perjalanan untuk semua moda trasportasi.
Meskipun demikian, dia mengingatkan bahwa hal tersebut masih akan membebani rakyat, karena harga tiket transportasi massal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR.”Misalnya masih ada tiket kereta api yang harganya di kisaran Rp75 ribu untuk satu kali perjalanan dan tiket bus AKAP dan kapal laut. Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari tiga kali lipat harga tiket untuk tes PCR,” kata Puan di Jakarta, Selasa (26/10).
Puan memahami kebijakan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasi bertujuan untuk mengantisipasi gelombang baru COVID-19, terutama menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2022.
Dia berharap harga PCR tidak lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat.
Menurut dia, jika harga tes PCR masih lebih mahal dari tiket transportasi massal yang mayoritas digunakan masyarakat, dikhawatirkan akan terjadi diskriminasi terhadap warga masyarakat. “Apakah artinya masyarakat yang mampu membayar tiket perjalanan, namun tidak mampu membayar tes PCR, lantas tidak berhak melakukan perjalanan? Hak mobilitas warga tidak boleh dibatasi oleh mampu tidaknya warga membayar tes PCR,” ujarnya.
Selain itu Puan juga menyoroti fasilitas kesehatan di daerah-daerah yang akan melakukan tes PCR jika kebijakan ini akan diberlakukan.
Dia mempertanyakan apakah fasilitas kesehatan di semua daerah sudah mumpuni jika tes PCR menjadi syarat wajib di semua moda transportasi, sehingga kebijakan tersebut harus benar-benar dipertimbangkan.
Karena itu dia menilai tes PCR sebaiknya tetap difungsikan sebagai alat diagnosa COVID-19, sedangkan untuk skrining dapat menggunakan tes antigen dan mengoptimalkan aplikasi PeduliLindungi.
“Aplikasi PeduliLindungi dibuat untuk mengetahui status seseorang. Seharusnya ini yang dimaksimalkan, bagaimana pemerintah mampu menelusuri suspect COVID-19 agar tidak berkeliaran hingga statusnya kembali hijau,” katanya.
Keputusan Presiden Joko Widodo yang meminta harga PCR turun menjadi Rp300 ribu dianggap masih mahal. Angka tersebut, dinilai masih sangat memberatkan masyarakat yang ingin bepergian menggunakan pesawat. “Harga Rp300 ribu itu masih tinggi dan memberatkan. Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga dibawah Rp100 ribu, kenapa kita tidak bisa?” kata Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani dikutip Rabu (27/10).
Apalagi, kata Netty, ada wacana PCR akan diwajibkan untuk seluruh moda transportasi.“Kalau kebijakan ini diterapkan, maka tes Covid-19 lainnya, seperti, swab antigen tidak berlaku. Artinya semua penumpang transportasi non-udara yang notabene-nya dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat,” ungkap Netty.
Netty juga menyoroti soal mekanisme pelaksanaan PCR sebagai screening method. PCR adalah metode screening. Seharusnya dalam masa menunggu hasil tes PCR keluar, seorang harus karantina. Banyak kasus justru orang bebas berkeliaran dalam masa tunggu tersebut.
Dalam kondisi itu, kata Netty, ada peluang yang bersangkutan terpapar virus. “Jadi saat tes keluar dengan hasil negatif, padahal dia telah terinfeksi atau positif Covid-19,” terangnya.
Netty mengingatkan pemerintah tentang keterbatasan kemampuan lab dalam melakukan uji PCR dan kemungkinan pemalsuan surat PCR.“Jika pemerintah mewajibkan PCR, seharusnya perhatikan ketersediaan dan kesiapan lab di lapangan. Jangan sampai masyarakat lagi yang dirugikan. Misalnya, hasilnya tidak bisa keluar 1X24 jam. Belum lagi soal adanya pemalsuan surat PCR yang diperjualbelikan atau diakali karena situasi terdesak,” ujar Netty.
Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah agar menjelaskan harga dasar PCR secara transparan. Kejadian ini membuat masyarakat bertanya-tanya, berapa sebenarnya harga dasar PCR? “Pada awalnya test PCR sempat di atas Rp1 juta, lalu turun hingga Rp300 ribu. Apalagi pemerintah tidak menjelaskan mekanisme penurunannya; apakah ada subsidi dari pemerintah atau bagaimana?” katanya.
Ia berharap, pandemi Covid-19 ini tidak menjadi ruang bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya demi kepentingan bisnis. Pemerintah harus punya sikap yang tegas bahwa seluruh kebijakan penanganan murni demi keselamatan rakyat.
Terakhir, Netty menanyakan relevansi program vaksinasi dengan pengambilan kebijakan mewajibkan PCR. “Pemerintah menggencarkan vaksinasi agar terbentuk kekebalan komunitas. Seharusnya tingginya angka vaksinasi jadi dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Jika di suatu daerah angka vaksinasi tinggi, kekebalan komunitas mulai terbentuk, tentu kebijakannya bukan lagi mewajibkan PCR yang berbiaya tinggi,” katanya. (khf/fin)