MAGELANGEKSPRES.COM, JAKARTA – DPP PDI Perjuangan (PDIP) menolak adanya gagasan masa jabatan presiden tiga periode. Presiden Joko Widodo juga disebut tidak pernah berpikir menjadi presiden tiga periode.
“Gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi 3 periode ini jelas jauh dari pandangan dan sikap politik PDIP. Isu tiga periode kalau kita lihat Pak Jokowi, bolak-balik beliau sudah mengatakan tidak pernah berpikir menjadi presiden tiga periode,” tegas Ketua DPP PDIP Basarah di Jakarta, Minggu (20/6).
Presiden Jokowi, lanjut Basarah, menganggap orang-orang yang memunculkan gagasan tiga periode tersebut mau cari muka, mau nampar muka dan ingin menjerumuskan.
“Kalau subyeknya sudah tidak mau, saya kira sangat tidak elok konstitusi dipermainkan hanya untuk kepentingan orang per orang,” imbuhnya.
Selain itu, PDIP juga menolak adanya narasi presiden dipilih oleh MPR. Basarah menyebut jika ada amandemen, PDIP ingin amandemen terbatas. Yakni supaya MPR bisa menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Sama sekali tidak pernah membahas presiden dipilih oleh MPR. PDIP ingin amandemen terbatas. Artinya tidak mau melebar ke mana-mana. Hanya menambah satu ayat di pasal 3 UUD 1945. Yaitu MPR diberikan wewenang untuk menetapkan haluan dan haluan pembangunan nasional,” paparnya.
Basarah menjelaskan adanya amandemen agar MPR menetapkan GBHN itu agar pembangunan nasional terus berlanjut. Sehingga, ketika pemimpin berganti program pembangunan nasional tidak berhenti.
“PDIP akan menarik diri dari agenda amandemen terhadap UUD 1945 jika mengarah kepada perubahan masa jabatan presiden. Apalagi misalkan gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode,” pungkas Basarah.
Publik Nggak Setuju Jokowi Maju 2024
Sementara itu, hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan mayoritas warga Indonesia tidak setuju Presiden Joko Widodo maju lagi dalam Pilpres 2024. Sebanyak 52,9 persen publik menyatakan tidak setuju. Sementara yang setuju 40,2 persen.
“Survei SMRC juga menunjukkan mayoritas warga menghendaki agar ketetapan tentang masa jabatan presiden dua kali tetap dipertahankan. Yang ingin masa jabatan presiden diubah hanya 13 persen. Yang tidak punya sikap 13 persen,” kata Peneliti sekaligus Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando di Jakarta, Minggu (20/6).
Temuan ini, lanjut Ade, menunjukkan narasi yang diusung kelompok-kelompok tertentu agar Presiden Jokowi bisa kembali bertarung dalam Pilpres 2024 dengan mengubah ketetapan UUD 1945 tidak didukung mayoritas warga Indonesia. “Memang dukungan terhadap gagasan untuk mencalonkan Jokowi kembali sebagai presiden nampak cukup tinggi. Yakni sekitar 40 persen. Namun, tetap persentase itu lebih rendah secara signifikan dibandingkan mereka yang menganggap Jokowi cukup menjabat dua kali yang mencapai 53 persen,” terangnya.
Apalagi, sebanyak 74 persen warga menyatakan tidak perlu ada perubahan dalam pembatasan masa jabatan presiden. Dia melihat ada efek Jokowi terhadap sikap publik tersebut. “Pada tingkat dasar, 74 persen publik ingin presiden dua periode saja. Tetapi, ketika disodorkan nama Jokowi untuk kembali maju pada Pilpres 2024, banyak yang goyah. Awalnya 74 persen yang menolak dua periode. Kini, menjadi 59,2 persen,” jelas Ade.
Dia menyebutkan mayoritas warga berpendidikan tinggi menolak gagasan pencalonan kembali Jokowi dalam Pilpres 2024. “Sekitar 75 persen warga berpendidikan tinggi Perguruan Tinggi menolak pencalonan tersebut. Hanya 20 persen yang mendukung,” tukasnya.
Menurut Ade, terdapat perbedaan pandangan antar kelompok latar belakang pendidikan, penghasilan dan agama berbeda dalam hal dukungan dan penolakan terhadap gagasan tersebut.
Dari latar belakang pendidikan, terdapat 75 persen warga dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi yang menolak pencalonan kembali Jokowi sebagai capres 2024. Sementara hanya 45 persen warga berpendidikan SD yang juga menolak gagasan tersebut.
Dilihat dari tingkat penghasilan, terdapat 62 persen warga dengan penghasilan di atas Rp 2 juta per bulan yang menolak gagasan pencalonan kembali Jokowi. Sementara 43 persen warga berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan juga menolak gagasan tersebut.
Di sisi lain, mayoritas publik masih menghendaki pemilihan presiden dan wakil presiden tetap dilakukan secara langsung. Jumlahnya 84,3 persen. Artinya dipilih oleh rakyat. Bukan dipilih MPR. “Hanya 8,4 persen warga yang setuju presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat. Namun dipilih MPR,” kata Peneliti sekaligus Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) , Ade Armando.
Menurutnya, temuan ini bisa dilihat sebagai respons terhadap adanya keinginan sebagian pihak untuk mengembalikan pasal-pasal tentang pola pemilihan presiden oleh parlemen yang dikenal sebelum amandemen UUD 1945 di masa awal reformasi.”Saat ini ada kelompok-kelompok yang, dengan beragam alasan, mengangkat gagasan tentang perlunya pemilihan presiden dilakukan cukup oleh MPR tanpa harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat,” jelas Ade.
Survei SMRC itu menunjukkan mayoritas rakyat tidak mendukung gagasan pemilihan presiden oleh MPR. “Mayoritas rakyat menganggap pemilihan langsung adalah pilihan terbaik,” papar Ade.
Survei SMRC tersebut juga menunjukkan 74,7 persen publik rakyat berpendapat presiden harus bertanggungjawab kepada rakyat. Karena presiden dipilih oleh rakyat.
Hanya 18,4 persen yang berpendapat Presiden seharusnya bertanggungjawab pada MPR. Ade menyatakan, penelitian ini diajukan dalam survei SMRC terkait adanya wacana yang diusung kelompok-kelompok tertentu tentang perlunya amendemen baru UUD 1945 yang mengatur hubungan presiden, MPR, dan rakyat.
Survei SMRC ini, lanjut Ade, menunjukkan mayoritas rakyat merasa penataan mengenai hubungan antara presiden, MPR, dan rakyat yang termuat dalam UUD 1945 adalah yang terbaik.
Survei SMRC juga menunjukkan mayoritas publik sebanyak , 74,7 persen setuju dengan pendapat Presiden bekerja sesuai dengan janji-janjinya kepada rakyat pada masa kampanye.
Hanya 18,4 persen yang setuju pendapat Presiden bekerja menurut GBHN yang ditetapkan MPR. Karena itu presiden harus bertanggung jawab pada MPR.”Hal Ini menguatkan kesimpulan rakyat menganggap lebih baik presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pada gilirannya, bertanggungjawab pada rakyat. Daripada dipilih oleh MPR dan kemudian bertanggungjawab pada MPR,” bebernya.
Survei nasional SMRC tersebut dilakukan pada 21-28 Mei 2021. Penelitian melalui wawancara tatap muka ini melibatkan 1072 responden yang dipilih melalui metode penarikan sampel random bertingkat dengan margin of error penelitian ± 3,05 persen.(rh/fin)