MAGELANGEKSPRES.COM, JAKARTA – Komisi Yudisial (KY) angkat suara mengenai putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menyunat hukuman mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari.
Hukuman Pinangki dipotong dari semula 10 tahun pidana penjara di tingkat pertama menjadi 4 tahun penjara atau berkurang 6 tahun.
Pinangki merupakan terdakwa perkara suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat terkait skandal terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali, Joko Tjandra.
Juru Bicara KY, Miko Ginting mengatakan, pihaknya tidak berwenang menilai benar atau tidaknya putusan tersebut. Namun, kata Miko, KY berwenang jika terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
“Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, Komisi Yudisial tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara,” kata Miko dalam keterangannya, Selasa (15/6).
Dikatakan Miko, UU yang berlaku saat ini memberikan kewenangan bagi KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Analisis itu nantinya menjadi rekomendasi mutasi hakim.
“Putusan yang dianalisis harus sudah berkekuatan hukum tetap dan tujuannya untuk kepentingan rekomendasi mutasi,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Miko mengatakan, masyarakat yang resah atas putusan PT DKI yang menyunat hukuman Pinangki dapat menempuh jalur eksaminasi yang dilakukan perguruan tinggi dan akademisi.
Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan.
“Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim,” kata Miko.
Diketahui, Majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menyunat hukuman mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari menjadi 4 tahun penjara.
Pinangki sebelumnya divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta lantaran dinyatakan bersalah menerima suap, melakukan pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Pinangki Sirna Malasari dengan pidana penjara selama 4 tahun penjara dikurangi selama terdakwa dalam masa penahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara,” bunyi kutipan putusan banding PT DKI Jakarta, dikutip Senin (14/6).
“Menjatuhkan pidana denda terhadap Terdakwa sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” bunyi lanjutan kutipan putusan tersebut.
Majelis hakim yang diketuai Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik, menilai Pinangki tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kesatu primair dan ketiga primair.
Sehingga hakim menyatakan Pinangki harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Majelis hakim menilai Pinangki terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kesatu subsidiair, melakukan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua, dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga subsidiair.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal. Pertama, Pinangki telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik.
“Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan,” kata hakim.
Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
“Bahwa perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” tambah hakim.
Majelis hakim menyatakan Pinangki terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Serta Pasal 15 Jo Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (riz/fin)